MENJADI SEORANG ATHEIS DAN AGNOSTIK BUKANLAH AIB
Oleh: Uray Andre Baharudin S. Tr. Pi
Tulisan saya kali ini merupakan salah satu bentuk uneg-uneg yang saya pendam dan ingin saya keluarkan. Sebenarnya, tulisan saya kali ini sudah saya post di salah satu akun media sosial milik saya. Namun, saya ingin menuliskannya kembali di blog saya kali ini.
Atheis dan agnostik dua pandangan yang dianggap "tabu" di kalangan masyarakat Indonesia khususnya bagi daerah saya sendiri. Kedua pandangan ini muncul karena adanya kebingungan tentang adanya Tuhan atau tidak, dan saat ini sudah menjadi hal yang sangat terbuka untuk dibicarakan.
Bagi saya, menjadi seorang atheis atau agnostik bukanlah aib mengapa? Sebab, sebagai seorang manusia setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir dan berkeyakinan yang bersifat pribadi. Berbeda keyakinan bukanlah suatu kejahatan atau aib, yang terpenting adalah bagaimana cara kita menghormati perbedaan tersebut, sehingga terciptalah rasa harmoni dan damai.
Seharusnya dalam kehidupan sosial kita, kita dapat saling menghargai sesama individu yang berbeda pandangan tanpa menghakimi. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk mengikuti pandangan kita, namun kita bisa saling memahami dan menghormati pandangan tersebut.
Namun, sayangnya masih terjadi diskriminasi terhadap atheis dan agnostik bahkan di beberapa negara hal ini dapat memicu tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap mereka yang mempunyai pandangan tersebut. Padahal, kita harusnya menghargai perbedaan pandangan dan tidak memaksakan kehendak pada orang lain.
Oleh karena itu, menjadi seorang atheis ataupun agnostik bukanlah aib dan harus kita hargai. Persoalan keyakinan bukan semata-mata tentang benar atau salah, tetapi tentang hak untuk memilih dan menjalankan sesuai dengan keyakinan kita.
Sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang majemuk, kita harus menerima perbedaan sebagai hal yang wajar dan menghargainya sebagai bagian dari kekuatan keberagaman yang ada dalam masyarakat kita.
Gambar: credit to the owner
Saya agnostik dan saya memilih jalan terbaik adalah ngebunglon, apalagi di tempat saya fanatisme terhadap agama masih kental
BalasHapusSebagai seorang agnostik, hal ini tentu saja menjadi tantangan bagi kita apalagi kalau tinggal di tengah-tengah orang yang terlalu "fanatik" terhadap agama.
Hapus